Kamis, 02 Maret 2017

Menyuburkan Iman dengan Muraqabtullah

*REKAP KAJIAN ONLINE HAMMBA ALLAH G-5*


➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Hari/Tgl : Selasa ,28 Februari 2017
Materi : *Menyuburkan Iman dengan  Muraqabtullah*
Asatidz : *Ustadz Hizbullah Zein*
Admin : Saidah,Nining, Hangesti
Notulens : Saidah

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

*Menyuburkan Iman dengan Muraqatullah*

Secara umum ada dua factor dalam menjaga tumbuh suburnya ruhiyah dan keimanan. Yang pertama yang berkaitan dengan kepekaan jiwa dan yang kedua terkait Amaliyah
Pada kesempatan ini kita membahas yang pertama, factor yang berkaitan dengan Kepekaan Jiwa.
Pertama: Selalu merasakan Muraqabtullah (Pengawasan Allah)
Apabila seseorang hendak melakukan sesuatu hendaklah ia menaykini dalam relung hatinya bahwa Allah bersamanya. Allah melihat dan mengawasi dirinya. Allah mengetahui  yang  nampakdan yang tersembunyi dari dirinya. Mengetahui penglihatan mata yang khianat serta apa yang tersembunyi dalam hatinya. Sesuai dengan sabda Nabi Shallalahu alaihi wasallam:
“….hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engaku melihat  Allah. Dan jika memang engaku tidakmelihat-Nya maka sungguh Allah melihat kamu.” (H.R. Muslim)
Dengan keyakinan seperti ini, merasakan Muraqabatullah secara terus menerus, maka  hal ini akan mengantar kepada peningkatan ruhiyah , menjaga akhlak selalu lurus serta ibadah yang selalu benar.
Ada beberapa contoh dari para pendahulu kita bagaimana mereka meyakini Muraqabatullah terhadap diri meraka yang pada akhirnya mengantar mereka pada kejujuran, kemuliaan akhlaq dan tumbuh suburnya ruhiyah.
Imam al-Gazhali meriwayatkan dalam kitab Ihya’ ulumuddin, bahwa di took milik Yunus bin Ubaid ada beberapa jenis perhiasan dengan harga yang bermacam-macam.  Diantaranya ada yang seharga 400 dirham dan ada yang seharga 200 dirham. Suatu ketika ia hendak berangkat mengerjakan solat , ia lalu  meminta keponakannya untuk menggantikan dirinya  menjaga toko,. Lalu datanglah seorang Arab Badui dan meminta perhiasan seharga 400 dirham untuk dibelinya. Keponakan Yunus pun menyodorkan salah satu perhiasan kepadanya. Ia menerima, setelah meneliti dan meresa puas ia pun memabyarnya seharga 400 dirham. Kemudian pergi meninggalakan toko sambil menimang-nimang perhiasan yang tekah dibelinya. Ditengah jalan Yunus bin Ubaid berjumpa dengannya. Ia melihat perhiasan ditangan Arab Badui itu dan sangat tau akan perhiasan tersebut.  Yunus bin Ubaid pun lalu bertanya, “berapa harga perhiasan yang engkau beli itu?”
“400 dirham” Jawab Badui
“perhiasan itu harganya tak lebih dari 200 dirham. Kembaliah ke toko dan ambil uang lebihnya” ujar Yunus
“perhiasan seperti ini seharga 500 dirham dirham dikampung saya, dan saya rela membelinya dengan 400 dirham” balas Badui itu.
“kalau begitu engkau ikut saya! Sesungguhya nasehat agama lebih baik dari pada dunia dan seisinya” kata Yunus bin Ubaid.
Yunus bin Ubaid lalu mengajak seorang Badui tersebut kembali ke tokonya lalu mengembalikan kelebihan bayarannya. Ia kemudain menegur keponakannya dengan keras “ Apakah engkau tidak malu? Engaku mengambil untung sebesar harga  barang dan kamu tinggalakan kejujuranmu terhadap orang muslim!!.”
“demi Allah, dia mengambilnua dengan rela sepenuhnya” bantah keponakannya
“bukankah seharusnya kamu rela untuknya sebagaimana engaku merasa rela untuk dirimu sendiri?” jawab Yunus bin Ubaid.
Dalam riwayat lain Abdullah bin Dinar bercerita: “saya berangkat ke Mekkah bersama Umar bin Khattab,ketika kami sedang beristirahat, tiba-tiba muncul seorang pengembala menuruni lerang gunung menuju kami. Umar lalu berkata kepada pengembala; “hai pengembala, juallah seekor kambingmu kepada saya”
“tidak! saya ini seorang budak” jawab pengembala itu.
“katakana saja pada tuanmu bahwa dombanya diterkam serigala” ucap Umar menguji
“kalau begitu di mana Allah?” tegas si pengembala
Ketika mendegar ucapa itu Umar langsung menangis, lalu pergi bersama budak tersebut mengahadap ke tuannya kemudian Umar membelinya lalu memerdekakanny seraya berkata “kamu telah dimerdekakan di dunia karena ucapannmu, semoga ucapanmu bisa memerdekakanmu  di akhirat kelak”.
Atau tentang kisah tentang seorang Ibu degan anak gadisnya yang ingin mencampurkan susu dengan air agar mendapat keuntungan yang lebih banyak. Putrinya lalu mengingatkannya dengan muraqabatullah (pengawasan Allah ) dan peringatan Amirul mukminin Umar bin Khattab radiyallahu anhu  agar kaum muslimin berlaku jujur dalan berbisnis. Ketika ibu tetap bersikeras untuk mencampur susu dengan air,purtinya menasehati “kalaupun Amirul Mukiminin Umar bin Khattab radiyallahu anhu tidak melihat kita tetapi Rabb amirul mukminin melihat kita.
Kisah lain tentang seorang wanita di zaman Umar bin Khattab yang sudah lama ditinggal oleh suaminya. Terkepung dalam kabut kesepian, disergap bisikia-bisikan kesendirian. Darah kewanitaanya bergejolak dan nalurinaya membisikkan sesuatu. Namu semua itu terbendung dengan banteng keimanan dan keyakinan akan Muarabatullah yang terus menerus. Suatu ketika di tengah malam gelap gulita saat Umar bin Khattab belusukan memeriksa kondisi masyarakatnya ia mendegarkan senandung syair wanita tersebut.
“malam lama berlalu, galap makin pekat
Aku masih terjaga, tanpa kekasih yang mencumbu
Demi Allah, Andai tak ada Allah yang ditakuti siksa-Nya
Nisacaya akan bergoyang ranjang ini
Hari berikutnya Umar menemui  putriya Hafsoh radiyallahi anhuma lalu bertanya, “berapa lamakah istri bisa bersabar menunggu suaminya?”
Hafsoh menjawab : “empat Bulan”
Selanjutnya Khalifah Umar umar bin Khattab Radiyallahu anhu segera mengrim utusan kepada para komandan pasukan di medan perang. Dalam pesannya Umar memerintahkan para komandan agar tidak menahan pasukan prajurit (mujahid) dalam tugas lebih dari emapat bulan.
Merupakan ujian bagi sang wanita tersebut antara rasa takut kepada Allah dan dorogan melakukan maksiat di sisi lain. Namun, kemudian dorongan-dorogan tersebut lebur di hadapan kekuatan Iman karena hadirnya keyakianan Allah mengawasi diri kita (Muraqabatullah).

Al-Harits al-Muhasibi berkata, “Muraqabah adalah pengetahuan hati tentang kedekatan Rabb”
Seorang muslim hendaknya selalu merasakan muroqobatullah (merasa selalu dalam pengawasan Allah) setiap saat. Meyakini  bahwa Allah subhanahu wata’ala senantiasa melihatnya, mengetahui rahasianya, dan Dia Maha Tahu terhadap segala perbuatannya, bahkan sampai pada hal yang sekecil-kecilnya.
Sehingga dengan keyakinan seperti itu, maka jiwanya merasa terliputi dalam pengawasan Allah subhanahu wata’ala, dia akan merasa betah berdzikir kepada-Nya, akan senang melaksana kan keta’atan kepada-Nya dan dia pun akan berpaling dari selain-Nya. Malu berbuat maksiat baik dikala sendiri ataupun banyak orang
Sifat muraqabah merupakan dasar komitmen seorang muslim pada Islam. Sifat muraqabah merupakan sumber kekuatan seorang muslim di saat sendirian dan di tengah keramaian. Jika terlintas dalam pikirannya untuk melakukan maksiat, maka dia akan segera ingat Allah subhanahu wata’ala, bahwa Dia hadir mengawasinya, lalu dengan serta merta dia akan membuang pikiran ke arah maksiat itu sejauh-jauhnya, agar dirinya terhindar dan terbebas dari perbuatan maksiat tersebut dan dia berazzam untuk tidak mendekatinya lagi. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan Dia bersama kamu di mana pun kamu berada dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat” (QS. Al-Hadid:4)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Makna ayat ini adalah, bahwa Allah subhanahu wata’ala Maha Mengawasi dan menyaksikan semua perbuatan, kapan saja dan di mana saja kamu melakukannya, di daratan maupun di lautan, pada waktu malam maupun siang hari, di rumah tempat tinggalmu maupun di tempat umum yang terbuka, segala sesuatu ada dalam ilmu-Nya, semuanya dalam penglihatan dan pendengaran-Nya. Dia mendengar apa yang kamu ucapkan dan melihat keberadaanmu, Dia Maha Mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya oleh seseorang, “Wahai Rasulullah apa itu “tazkiyatun nufus?” Maka dijawab oleh beliau, “(Tazkiyatun nufus itu ialah) hendaklah dia mengetahui (menyadari) bahwa Allah bersamanya di mana pun dia berada”. (HR. Thabrani & Baihaqi, dan hadist ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Juga seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ‘Ubadah Bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya keimanan yang paling utama adalah engkau menyadari bahwa Allah bersamamu di mana pun kamu berada”. (HR. Thabrani).
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sungguh aku mengetahui beberapa kaum dari ummatku yang datang pada hari Kiamat kelak dengan membawa kebaikan-kebaikan seperti gunung Tihamah yang putih, lalu Allah jadikan kebaikan-kebaikannya tersebut seperti debu yang berterbangan, mereka itu adalah saudara-saudaramu, dari jenis kulitmu, dan mereka menjadikan malamnya sebagaimana kalian menjadikannya, akan tetapi mereka kaum yang apabila dalam keadaan sepi mereka melanggar larangan-larangan Allah.” (HR. Ibnu Majah, hadits ini dishahihkan oleh Syekh Al-Al-Bani)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
“Suatu perbuatan yang tidak kamu sukai bila manusia melihat perbuatanmu itu, maka janganlah kamu melakukannya apabila kamu berada dalam keadaan sepi”. (HR. Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang lain,
“Ada tiga hal yang mencelakakan seseorang dan ada tiga hal yang menyelamatkan seseorang.

Tiga hal yang mencelakakan,

1. Kekikiran yang dita’ati,
2. Hawa Nafsu yang diikuti, 3. Kekaguman terhadap diri sendiri. Sedangkan tiga hal yang menyelamatkan, 1. Takut kepada Allah dalam keadaan sepi maupun di tengah keramaian, 2. Seimbang/sederhana menjalani hidup ini baik dalam keadaan fakir maupun kaya, 3. Adil dalam menghukumi baik ketika sedang marah (benci) maupun senang (ridho)”. (HR. al-Bazzar diringkas dari Ash-Shahihah)
Imam Ahmad rahimahullah pernah menuturkan, “Jika pada suatu hari engkau sedang sepi dalam kesendirian, maka janganlah engkau mengatakan, “Aku sedang sendirian”, tapi katakanlah, “Aku sedang diawasi oleh Dzat Yang Maha Mengawasi”. Janganlah sekali-kali engkau mengira bahwa Allah subhanahu wata’ala itu dapat saja berbuat lengah sesaat dan janganlah pula engkau sekali-kali mengira bahwa apa yang kamu sembunyikan itu tersembunyi pula bagi Allah.”

DR. Sayyid Muhammad Nuh dalam Taujih Nabawy, beliau menerangkan dua sarana untuk menghidupkan muroqobah:
Pertama: Memiliki keyakinan yang sempurna bahwa sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala Maha Mengetahui segala yang dirahasiakan dan segala yang nyata, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dia Allah yang disembah di langit dan di bumi, Dia Mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan, dan Dia Mengetahui apa yang kamu usahakan” (QS. Al-An’am:3)
Sesungguhnya hakikat muroqobah seperti ini apabila benar-benar terhujam di dalam hati seseorang, maka dia akan benar-benar merasa malu dilihat oleh Allah subhanahu wata’ala jika dia melanggar larangan-Nya atau dia meninggalkan perintah-Nya.
Ke dua: Memiliki keyakinan bahwa Allah subhanahu wata’ala akan menghitung dan menghisab segala sesuatu meskipun itu hal-hal yang terkecil. Dia akan memberitahukan hal itu kelak pada hari Kiamat, dan bahkan Dia akan memberikan balasannya sesuai dengan jenis amal perbuatan seseorang, amalan yang jelek akan dibalas dengan ‘iqob dan azab-Nya sedangkan amal yang baik akan mendapatkan balasan rahmat dan ridho-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan diletakkanlah al-kitab (buku catatan amal perbuatan), lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan dia catat semuanya; dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis dihadapan mereka). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang jua pun”. (QS. Al-Kahfi:49).

Referensi: kitab ruhiyatu Addaiyah oleh Dr. Abdullah Nasih Ulwan & Alsofwa: menumbuhkan sikap muraqabatullah

√ DR. Sayyid Muhammad Nuh dalam Taujih Nabawy, beliau menerangkan dua sarana untuk menghidupkan muroqobah:
Pertama: Memiliki keyakinan yang sempurna bahwa sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala Maha Mengetahui segala yang dirahasiakan dan segala yang nyata, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dia Allah yang disembah di langit dan di bumi, Dia Mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan, dan Dia Mengetahui apa yang kamu usahakan” (QS. Al-An’am:3)
Sesungguhnya hakikat muroqobah seperti ini apabila benar-benar terhujam di dalam hati seseorang, maka dia akan benar-benar merasa malu dilihat oleh Allah subhanahu wata’ala jika dia melanggar larangan-Nya atau dia meninggalkan perintah-Nya.
Ke dua: Memiliki keyakinan bahwa Allah subhanahu wata’ala akan menghitung dan menghisab segala sesuatu meskipun itu hal-hal yang terkecil. Dia akan memberitahukan hal itu kelak pada hari Kiamat, dan bahkan Dia akan memberikan balasannya sesuai dengan jenis amal perbuatan seseorang, amalan yang jelek akan dibalas dengan ‘iqob dan azab-Nya sedangkan amal yang baik akan mendapatkan balasan rahmat dan ridho-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan diletakkanlah al-kitab (buku catatan amal perbuatan), lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan dia catat semuanya; dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis dihadapan mereka). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang jua pun”. (QS. Al-Kahfi:49).

Dalam mengasah ketajaman ruhiyah kita, butuh berthap. Kita lakukan perbaikan sedikit demi sedikit dgn begitu keyakinan akan muraqbatullah juga semakin dalam.

Wallahu a'lam bishowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar